Sabtu, 15 Januari 2011

Menyisir wilayah kelola masyarakat adat di Kaki Bukit Merangin, Sintang

oleh : shaban Stiawan

awal tahun 2011 saya menyisir wilayah kelola masyarakat adat dayak seberuang (iban group) di Desa Sungai Segak Kecamatan Sepauk. wilayah ini merupakan konsesinya HPH (PT Kayu Lapis Indonesia. penduduk berjumlah 120 kk dan kegiatan masyarakat bertani, berkebun karet dan berburu. sebagai wilayah desa tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung. dari beberapa dusun masih ditemukan masyarakat menganut paham kepercayaan kepada betara (Tuhan) kurang lebih 10 KK, kelompok ini bertempat tinggal di bawah kaki bukit merangin yang hutan relatif baik dan sumber utama sungai sepauk.

Untuk menuju wilayah tersebut dari kota pontianak kurang lebih 362 KM bisa mengunakan kendaraan umum dan bermotor. adapun jalur yang ditempuh pontianak - Sekadau atau pontianak- sintang dengan jenis kendaraan bis dan taksi. setelah itu dilanjutkan mengunakan ojek sepeda motor kurang lebih 4 jam dengan biaya 250 ribu sekadau -Sui Segak atau Sepauk-sui segak.

Untuk lebih lengkap informasi dan cerita silakan berkunjung kewilayah tersebut


Adapun potensi alam yang ada seperti air terjun pampak dan air terjun sungi gurung, hutan, ikan, rotan, kebun karet. untuk tempat wisata sejarah adalah patung gusar, bukit pesok dan bukit muncak.

PENANGANAN BENCANA DAN RESPON TERHADAP KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Shaban Stiawan

Pada tanggal 17 Agustus 2006 masyarakat Kalimantan Barat yang bertepatan HUT kemerdekaan telah di kepung oleh kabut asap terutama masyarakat perkotaan Pontianak, kabut asap bagi masyarakat di Kalbar bukan barang baru, karena sudah dimulai sejak tahun 1997 sampai sekarang ini. Kejadian tersebut tersering dengan pergantian kepala daerah seperti Bupati, Walikota maupun Gubernur Kalbar. namun tidak ada satupun kepala daerah yang mampu menyelesaikan meminalisasi bencana kebakaran hutan dan lahan.

Apabila terjadi kebakaran hutan dan lahan yang nama Satelit National Oceanic Atmospheric and Administrasi selalu melaporkan hotspot-hotspot di Kalbar, selain itu juga pemerintah maupun instansi terkait dalam hal BAPEDDALDA juga menyampaikan laporan yang serupa mengenai jumlah hotspot. Dari laporan tersebut pemerintah menyampaikan bahwa sumber hotspot di tahun 1997 – 2006 berasal rata-rata di areal n perkebunan skala besar (sawit, HTI dan lahan pertanian rakyat (kliping walhi ,2006..www.walhi.or.id). Sedangkan temuan yang di lanser oleh NOAA bahwa hotspot yang paling besar juga terjadi di areal yang di peruntukan untuk pengembangan perkebunan skala besar.

Tahun 2006 berdasarkan pantau satelit NOAA ada 50 % hotspot berada di kawasan hutan sedangkan di luar kawasan hutan 44,2%. (redaksi@pontianakpost.com pontianakpost, 26/7/2006). Tidak kalah penting lagi Badan Meteorology dan Geofisika (BMG) Pontianak setiap hari maupun bulan melaporkan tingkat bahaya cuaca di Kalbar.

Hasil investigasi Walhi Kalbar pada tanggal 13 September 2006 telah terjadi kebakaran yang menghanguskan Bukit Kuali di Dusun Lais, Desa Lalang, Kecamatan Tayan Hilir, Kab. Sanggau yang bersumber dari PT. MSP yang bergerak di perkebunan kelapa sawit.(lap. investigasi,2006). Menurut kepala Badan pengendalian dampak lingkungan ada 9 perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran dengan total areal 2.773 – 3,173 hektar yang tersebar di seluruh Kalimanatan Barat (Pontianakpost, 19/10/2006)

Kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di Kabupaten Landak yang terbesar sepanjang sejarah perkebunan menghanguskan 60 hektar lahan perkebunan dan sebagian hutan adat masyarakat (22-26/9/2006) dengan sumber api berasal dari PT. ANI (Equator, 28/9/2006)

Damapak kebakaran hutan dan lahan menambah laju degradasi hutan dan lahan kritis mencapai 5,3 hektar (data dishut.2006). Hasil dari kebakaran hutan dan lahan telah menghasilkan kabut asap ternyata meluas sampai ke Negara Tetangga yakni Kuala Lumpur dan Singgapura. Menurut Departemen Lingkungan Malaysia bahwa kualitas udara sudah tidak sehat lagi dan pemerintah Malaysia langsung mengeluarkan kebijakan menghentikan beberapa penerbangan ke Kuching dan Sabah. Kemudian pemerintah Malaysia melakukan protes terhadap pemerintah Indonesia untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan (data,5/10/2007). Langakah kongkret yang dilakukan oleh Malaysia menuruj langsung untuk memantau kebakaran hutan dan lahan di kalbar yang diketuai oleh Zulkarnain Muhammad Kasim seorang personil pasukan Bomba Malaysia (sub-regional fire fighting arrangement) menuju lokasi kebakaran hutan di Kecamatan Rasau, Kabupaten Pontianak.

Bencana yang tidak pernah usai beberapa lembaga swadaya masyarakat dalam hal ini KAIL, Gemawan dan Kontak bernoe melakukan monitoring terhadap perluasan perkebunan kelapa sawit salah satu kontribusi melakukan pembakaran hutan dan lahan karena kebakaran hutan dan lahan dapat menyebabkan ancaman eksistensi hutan di Kalbar.(data, 2007). Akibat dari kebakaran yang bersumber dari salah satu perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sambas telah merambah perkebunan karet rakyat seluas 600 hektar di Kecamatan Paloh pada hari minggu tanggal 13 Agustus 2006 (Pontianakpost, 15/8/2006).

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2003 – 2005 telah menimbulkan kerugian Negara sebesar 91 juta dolar AS atau sekitar Rp. 819 triliun. Kebakaran tersebut tersebaran sebagian di Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan di Kalbar kerugian yang dialami oleh pemerintah setiap tahun sekitar satu miliar lebih.


Penanganan Bencana dan Respon Pemerintah

Menurut montoring dan data yang kami peroleh dar berbagai sumber baik melalui media cetak maupun eletronik proses penanganan lebih pada responsif dan tidak satupun kebijakan yang menyentuh persoalan rakyat. Penanganan tersebut terkesan lebih dampa dari bencana kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu dapat kita lihat dari kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah pusat maupun.

 Pemerintah pusat mengeluarkan instruksi kepada Menteri Kehutanan, Gubernur, Bupati/Walikota untuk melakukan tanggap darurat terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan di masing-masing daerah dalam upaya menimalisasi ”meluasnya kabut asap” untuk tidak meluas keluar negeri seperti Malaysia, Singapura maupun Thailand (kompas, 21/7/2006)

 Pemerintan dalam menangani bencana kebakaran hutan dan lahan bersifat responsive dengan pendekatan proyek. Hal ini dapat kita lihat dari kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dengan mengalokasikan 1 milyar dana tersebut digunakan untuk program-program pengendalian dan pencegahan kabut asap seperti bom water dan penambahan sarana pemadaman kebakaran hutan dan lahan (pontianakpost, 17/8/2006).

 Gubernur memberi himbauan kepada sekolah-sekolah untuk meliburkan sekolah karena kabut asap sudah melebih ambang batas. Kemudian bupati Kabupaten Pontianak juga menyampaikan hal yang sama dengan menjagak masyarakat diminta jangan membakar lahan ( pontianakpost,7/8/2006).

 Menurut ketua DPRD Kalbar Ir, Zulfadhli banyak hostpot yang muncul menunjukan adanya indikasi kegagalan instansi terkait dalam melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat. (pontianakpost,10/8/2006).

 Upaya penegakan hukum juga dilakukan oleh aparat kepolisian dengan menindak tegas terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan. Misalnya warga jalan Ampera Pontianak yang berinisial SI (44) tahun digiring ke Mapoltabes Pontianak karena tertangkap tanggan membakar lahan di jalan Paris II Pontianak (Pontianakpost.16/8/2006).

 Di Kabupaten Sambas ada 80 kelapa keluarga di ungsikan oleh pemerintah daerah untuk menyelamatankan diri dari kepungan asap yang sudah mendekati kediaman mereka (14/8/20060)

 Munculnya kabut asap juga disikapi oleh Gubernur Kalbar Bapak Usman Ja,far sebagai penomena alam biasa, oleh karena itu gubernur menghimbau masyarakat untuk mengunakan masker atau mengurangi kegiatan diluar serta menghimbau kepada bupati/walikota membuat himbauan pelarangan membakar ditempat-tempat yang berpotensi menimbulkan kebakaran.

 Upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDALDA) membentuk masyarakat peduli api dengan program penyadaran melalui edukasi dan kampanye yang dilakukan oleh Duta Lingkungan Hidup Kalbar. (pontianakpost, 4/9/2007)

 Perusahaan yang secara jelas melakukan pembakaran dan pembuktian ilmiah pengadilan Singkawang membebaskan PT. Wilmar Sambas Plantation, PT. Buluh Cawang Plantation tersangka melakukan pembakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sambas yang secara melanggar pasal 41 ayat (1) Jo pasal 46 (1) jo pasal 47 UU RI Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (Equator, 20/8/2007)


Penanganan Bencana dan Respon Masyarakat

Kebakaran hutan dan lahan sangat berdampak besar terhadap masyarakat secara umum namun yang paling rentan adalah perempuan maupun anak-anak. Berdasarkan pantau Walhi kalbar di setiap rumah sakit swasta maupun negeri pada saat musim kebakaran hutan dan lahan hampir rata-rata pasien terkena ISPA maupun diare. Apa yang dilakukan oleh masyarakat untuk menangani bencana dampak kebakaran hutan dan lahan. Adapun upaya yang mereka lakukan lebih pada melindungi diri sendiri atau meminta pertolongan dengan pihak lain seperti pemerintah maupun yayasan-yayasan. Kegiatan yang mereka lakukan dengan membeli masker, obat-obatan dan mendatangi rumah sakit terdekat maupun puskesmas. Selain itu ada kelompok-kelompok civil society seperti walhi, mahasiswa maupun lsm lainnya melakukan aksi bersama di jalan-jalan, konferensi pers, dialog kebijakan, audiensi, pembagian masker, poster dan obat-obat pada saat bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahap genting dan kritis di Kalimantan Barat.

Bagi masyarakat pedalaman terutama bagi mereka yang berladang gilir balik dengan lahan kering, seperti yang diduga selalu dilakukan perusahaan yang membuka lahan dengan cara bakar. Pada saat ini, jumlah pembakaran lahan ladang di pedalaman sudah jauh berkurang dibandingkan 20-50 tahun lalu, karena faktor berkurangnya tingkat kesuburan lahan (karena berilalang) atau telah dialihkan untuk ditanami karet. Semakin banyak lahan bawas/bekas ladang ditanami karet, semakin berkurang lahan yang akan dibakar untuk ladang. Mengapa pola pengalihan ini tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk semakin mengurangi pembakaran lahan? Kalau perlu, menanam karet di lahan ladang menjadi persyaratan setiap kelompok tani yang mengajukan permohonan pembuatan kebun karet atau hutan tanaman karet. Penulis, bersama Dewan Adat Dayak Kabupaten Sanggau, pernah membina 1000 petani karet yang sebagian besar menanami lahan yang sedang diladangi dengan bibit karet unggul dalam rangka pembuatan hutan rakyat, dan berhasil baik. (DPD RI, Piet Herman Abik)

Lahan ladang di pedalaman, terutama pada bekas ladang rimba, dapat dikelola menjadi ladang tanpa pembakaran. Lahan ladang ini merupakan bekas ladang rimba, yang pada perladangan pertama menggunakan pola bakar. Berikutnya, lahan tersebut yang selalu digunakan untuk ladang setiap tahunnya, dengan cara menebas semak dan dibersihkan sampai ke permukaan tanah, yang kemudian ditanami padi, tanpa melalui pembakaran. Tingkat kesuburan cukup tinggi, dan dapat dibantu dengan pupuk. Penulis menyaksikan perladangan pola ini di tepian Sungai Mendalam Kapuas Hulu pada tahun 1996.

Pola ini dapat dipelajari dan disosialisasikan kepada masyarakat, yang dengan pembinaan dari Penyuluh Pertanian, diyakini dapat mengurangi pembuatan ladang dengan pembakaran.

ada umumnya, masyarakat pesisir membuat huma/sawah tadah hujan setiap tahunnya di lahan yang sama dengan cara membakar rerumputan/semak yang telah kering setelah ditebas. Lahan ini ada yang dicangkul atau dibajak. Namun, tidak sedikit yang mengupas tanah lahan sawah tersebut untuk kemudian ditanami padi.

Mengikuti pola perladangan tanpa bakar, tentu pola sawah tadah hujan inipun dapat menggunakan cara yang sama, walaupun tidak seefektif sawah dengan pola pengairan, yang dengan mudah menjadikan tanah sawah menjadi lumpur untuk kemudian rerumputan/bekas batang padi dibenamkan ke dalamnya.

MINYAK SAWIT ; ANTARA KENIKMATAN DAN BENCANA EKOLOGIS

Oleh : Shaban Stiawan (Direktur Eksekutif 2006 – 2009 )

Hampir semua masyarakat ekonomi kelas menengah ke atas sangat tinggi mengkonsumsi minyak goreng, minyak goreng ini dapat kita jumpai di pasar-pasar tradisional, toko-toko kecil maupun toko-toko besar, mini market dan Mall-Mall dengan merek dan disain yang sangat menarik. Kadang kala kita tidak pernah menyadari, ketika melihat suatu produk yang sudah jadi atau sudah memjadi barang mewah dengan tidak adan beban mengeluarkan sejumlah uang dari dompet untuk membeli barang tertentu terutama kebutuhan minyak goreng. Apalagi kalau kita mengunjungi Mall-Mall banyak ibu-ibu rumah tangga berbelanja minyak goreng dengan jumlah yang banyak dengan tujuan untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga untuk satu bulan. Kalau anda juga mengunjungi rumah makan atau Cafe-Cafe yang ternama di negeri kita ini, tentu dapat mencium/merasa lesatnya olesan minyak goreng murni dari produk kelapa sawit.

Produk tersebut telah diminati cukup lama di dunia ini, terutama negara-negara maju yang tingkat konsumsi akan minyak goreng tinggi seperti Amerika, Eropa dan beberapa Negara Asian lainnya. Oleh karena itu, permintaan dunia akan minyak sawit semakin meningkat. Atas dasar itu negara-negara berkembang yang menjadi korban seperti Indonesia, Papu Nugini dan Filipina. Dimana permintaan konsumem/penikmat bisa mengalahkan kepentingan masyarakat yang secara langsung memiliki lahan maupun kawasan hutan.

Pada headline news di berbagai stasiun televesi nasional, pemenerintah berkeinginan menekan harga minyak goreng dengan memasok 100.000 ton CPO untuk menjaga keseimbangan nilai harga dalam negeri. Artinya akan menambah penderitaan rakyat yang lebih memdalam, karena sebelumnya wakil presiden Jusuf Kala dan wakil perdana menteri Malaysia, Tun Sri Muhammad Najib, membuat kesepakatan bekerjasama melawan WTO dalam rangka menguasai sebesarnya pangsa minyak kelapa sawit dunia. Karena itu perluasan perkebunan kelapa sawit memperlihatkan dinamika yang luar biasa. Pada tahun 1995 luas total perkebunan kelapa sawit 2,024.986 ha. Dengan komposisi, 32,5% perkebunan rakyat, 47,4% perkebunan swasta besar dan sisanya perkebunan negara. Dalam kurun waktu 10 tahun, total perkebunan sawit telah menjadi 5,601,776 ha, dengan rata-rata pertumbuhan 12,4% per tahun. Artinya perkebunan rakyat lebih kecil dari perkebunan swasta dan negara.
Permintaan akan minyak kelapa sawit berdampak secara langsung terhadap propinsi Kalimantan Barat, di wujudkan dengan luasan kelapa sawit mencapai 397.029 hektar yang di canangkan oleh Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat. Hal tersebut di sampaikan oleh Ir Wawan Hermawan selaku Kepala bidang perlindungan dan Perencanaan disbun Kalimantan Barat yang akan membangun sentral benih sawit tersebar dengan perkiraan anggaran sekitar Rp 15 milyar. Dan untuk memperluas perkebunan sawit di Kalbar, pemerintah telah membuat proyeksi pengembangan komoditas 2005 – 2008. Dengan peningkatan sebagai sebagai berikut: tahun 2005 (382.324) 2006(397.029) 2007 (411,734) dan 2008 (426.439) hektar dengan pertumbuhan 4.0 persen (disbun Kalbar-2006)

Pemerintah propinsi kalbar juga menyediakan lahan seluas 20.000 hektar untuk perkebunan kelapa sawit bagi pegawai negeri sipil dengan memfaatkan areal milik, perusahaan yang ijinnya terancam dicabut. Lokasinya di Kabupaten Pontianak, tapi pemerintah kabupaten pernah mengeluarkan ijin kepada perusahaan. Namun lahan belum difungsikan hingga ijin berakhir.

Tidak di sangka-sangka proses minyak goreng yang di konsumsi semua elemen bangsa nampaknya tidak dapat dipisahkan dari tindak pemaksaaan, intimidasi dan kekerasan. Kasus-kasus sengketa antara manajemen perkebunan dengan masyarakat adat/lokal dapat ditemui di berbagai jenis perkebunan, tidak terbatas pada perkebunan kelapa sawit.
Akibat lain dari sisi minyak goreng (sawit) adalah dampaknya pada perekonomian rakyat, dimana terjadi penghancuran basis eksistensi ekonomi masyarakat serta hilang sumber ekonomi lain. Kemudian berbuntut pada meningkatnya bencana banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan konflik vertikal dan horizontal. Berdasarkan data walhi Kalimantan Barat ada 200 kasus yang berupa perampasan lahan, pengusuran dan intimidasi.(WALHI).

Kemudian gerakan civil society mengeliat di pelosok negeri baik buruh, petani sawit, dan masyarakat adat. Tidak kalah penting seorang romo William Chang angkat bicara seputar sawit, bahwa perkebunan sawit bukan juru selamat, tetapi bencana bagi sumber daya alam dan rakyat Indoensia, khususnya masyarakat lokal.

Jalan keluar yang terbaik adalah segera menghentikan perluasan perkebunan sawit serta memperbaiki perkebunan yang sudah ada saat ini, mendorong potensi lokal dengan memperhatikan kemampuan dan sumber daya setempat*** stop....mencair minyak sawit...

http://saveourborneo.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=177

Peningkatan Peran Masyarakat Madani (Civil Society) Dalam Mengatasi Polusi Asap Lintas Batas Dalam Kerangka Asean

Penumpukan asap yang sering terjadi sejak akhir tahun 1990-an di Kalimantan telah menimbulkan banyak masalah, di samping polemik yang tidak berkeputusan. Dampak buruknya bagi kesehatan serta gangguan yang ditimbulkan terhadap transportasi dan lingkungan telah menimbulkan protes sampai ke negara tetangga. Termasuk kerusakan hutan dan lahan yang diakibatkan oleh sumber asap itu sendiri, yaitu kebakaran, telah menyebabkan banyak orang bersuara, baik mengulas, memprotes, maupun membela pelakunya. Tetapi, jarang yang memberikan solusi yang ampuh. Tulisan ini mencoba memberikan beberapa ide mengatasi bencana asap dan pembakaran lahan, menurut kaca mata awam.

Asap akibat kebakaran yang dilakukan oleh manusia, baik sengaja maupun karena kelalaian/kelengahan sangat sulit dicegah, mengingat yang melaksanakan pembakaran sebagian besar adalah anggota masyarakat yang mencari penghasilan untuk hidup, di samping pembakaran sampah pekarangan. Sebagian mereka adalah petani perladangan tradisional di pedalaman yang pada umumnya berlokasi di wilayah ketinggian, tetapi bukan di areal tanah bergambut. Sebagian lagi adalah petani di daerah pesisir yang, tanpa penebangan pohon besar, melakukan pembakaran, termasuk di areal tanah bergambut. Sedangkan sebagian lainnya, adalah mereka yang disuruh/diupah/dibayar untuk melakukan pembakaran sebagai upaya persiapan lahan untuk penanaman tanaman lain (termasuk perkebunan besar). Dilema ini menyebabkan aparat pemerintahan kesulitan untuk mencegah, menindak, dan mengurangi aktivitas pembakaran yang menimbulkan penumpukan asap dan pada waktunya menjadi bencana asap.

Kebakaran/pembakaran, yang menurut skalanya, berpotensi menimbulkan penumpukan asap sehingga menjadi bencana, tentu harus dicegah, dan kalau sudah terjadi harus ditindak dengan tegas. Sanggupkah pemerintah bertindak tegas? Berdasarkan fakta sejak mulainya penumpukan asap menjadi bencana pada tahun 1997, dan sekarang penumpukan asap tetap menjadi bencana, penulis meragukan kemampuan pemerintah untuk bertindak tegas dan tuntas! Tindakan tegas dilakukan terhadap perusahaan yang melakukan pembakaran dengan cara memperalat anggota masyarakat. Tindakan tegas juga dilakukan terhadap petani tradisional, yang terbukti melakukan pembakaran hutan/lahan di luar areal peruntukannya, termasuk kelalaian yang menyebabkan terbakarnya hutan/lahan di sekitar lahan usahanya.

Peran Lembaga Adat.
Masyarakat adat memiliki adat istiadat dan hukum adat yang harus diterapkan terhadap pelanggaran pembakaran di wilayah masyarakat adat yang bersangkutan. Hal ini diatur secara tidak tertulis, dan diketahui oleh setiap temenggung adat, termasuk pengurus lembaga adat. Umpamanya, seorang petani membakar lahan yang telah disiapkan untuk ladang, pada keluasan tertentu dan disertai lingkar pengaman kebakaran, serta dijaga oleh sekelompok orang, agar api tidak merambat ke luar areal lahan pembakaran. Apabila, karena kelalaian, terjadi kebakaran yang tidak dikehendaki, akibat merambatnya api yang membakar lahan lain, bawas atau kebun karet milik orang lain, maka pemilik lahan pembakaran akan dihukum adat dan dikenai denda yang tinggi.

Masalah yang muncul adalah jika pelaku pembakaran ingkar dan tidak mau membayar adat/denda yang dikenakan padanya. Di sinilah peran lembaga-lembaga adat untuk membinanya. Jika tidak, pemilik lahan yang menjadi korban kebakaran dapat membawa kasus ini ke polisi, untuk diproses di pengadilan. Dalam hal ini, antara hukum adat dengan hukum pidana/hukum perdata tidaklah saling meniadakan, walaupun mungkin dapat saling mempertimbangkan. Tetapi, bila lembaga adat tidak mampu mengatasi masalah ini, kewibawaan lembaga adat yang bersangkutan akan turun di mata masyarakat, karena tidak mampu mengatasi masalah di wilayahnya sendiri. Termasuk pemerintah daerah dapat mempertanyakan peran lembaga adat tersebut, karena setahu penulis, lembaga adat mendapat dana operasional dari pemerintah berdasarkan Permendagri No. 3 Tahun 1997 Pasal 10, yang mewajibkan Gubernur, Bupati/Walikota untuk menganggarkan dana setiap tahun anggaran melalui APBD. Petunjuk pelaksanaan Penegasan Permendagri ini dituangkan dalam Instruksi Mendagri No. 15 tahun 1998.

Peran Pengurus RT/RW/Kepala Dusun/Kepala Desa/Lurah
Bagi masyarakat yang tidak mengenal dan kepada mereka tidak berlaku hukum adat, pelanggaran kebakaran/pembakaran dapat ditangani oleh Ketua RT/RW, Kepala Dusun, Kepala Desa, dan Lurah melalui koordinasi yang tegas dengan Camat, Bupati/Walikota. Untuk setiap kasusnya, apabila tidak dapat diselesaikan di tingkat masing-masing, dapat dibawa ke pengadilan melalui prosedur hukum yang berlaku.

Mengurangi Pembakaran Lahan
Seingat penulis, asap mulai menjadi masalah di Kalimantan Barat pada tahun 1990 ke atas. Dan ini, selalu menjadi masalah pada tahun-tahun sesudahnya, sampai sekarang pada saat volume perladangan tradisional semakin kecil, dan perusahaan perkebunan semakin banyak, yang juga membuka lahan dengan cara membakar lahan yang puluhan kali lebih luas dari luas sebuah ladang. Peladang tradisional membakar lahan untuk ladang setelah material yang akan dibakar kering, dan hanya seluas kurang lebih satu hektar, dan biasanya pada masa kering di bulan Agustus, untuk kemudian ditanami padi pada bulan September (Dari mana asap yang menyelimuti Pontianak awal Oktober 2006 ini??). Pada bulan Oktober, petani sudah menikmati sayuran (sawi ladang). Sangat jarang terjadi peladang membakar lahan mentah (kayu-kayuan belum kering).

Berbeda dengan pembakaran lahan bergambut atau lahan yang materialnya kurang kering, seperti yang diduga selalu dilakukan perusahaan yang membuka lahan dengan cara bakar. Pada saat ini, jumlah pembakaran lahan ladang di pedalaman sudah jauh berkurang dibandingkan 20-50 tahun lalu, karena faktor berkurangnya tingkat kesuburan lahan (karena berilalang) atau telah dialihkan untuk ditanami karet. Semakin banyak lahan bawas/bekas ladang ditanami karet, semakin berkurang lahan yang akan dibakar untuk ladang. Mengapa pola pengalihan ini tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk semakin mengurangi pembakaran lahan? Kalau perlu, menanam karet unggul di lahan ladang menjadi persyaratan setiap kelompok tani yang mengajukan permohonan pembuatan kebun karet atau hutan tanaman karet. Penulis, bersama Dewan Adat Dayak Kabupaten Sanggau, pernah membina 1000 petani karet yang sebagian besar menanami lahan yang sedang diladangi dengan bibit karet unggul dalam rangka pembuatan hutan rakyat, dan berhasil baik.

Berladang Pola Tebas
Lahan ladang di pedalaman, terutama pada bekas ladang rimba, dapat dikelola menjadi ladang tanpa pembakaran. Lahan ladang ini merupakan bekas ladang rimba, yang pada perladangan pertama menggunakan pola bakar. Berikutnya, lahan tersebut yang selalu digunakan untuk ladang setiap tahunnya, dengan cara menebas semak dan dibersihkan sampai ke permukaan tanah, yang kemudian ditanami padi, tanpa melalui pembakaran. Tingkat kesuburan cukup tinggi, dan dapat dibantu dengan pupuk. Penulis menyaksikan perladangan pola ini di tepian Sungai Mendalam Kapuas Hulu pada tahun 1996.

Pola ini dapat dipelajari dan disosialisasikan kepada masyarakat, yang dengan pembinaan dari Penyuluh Pertanian, diyakini dapat mengurangi pembuatan ladang dengan pembakaran.



Pembuatan Sawah Tadah Hujan
Pada umumnya, masyarakat pesisir membuat huma/sawah tadah hujan setiap tahunnya di lahan yang sama dengan cara membakar rerumputan/semak yang telah kering setelah ditebas. Lahan ini ada yang dicangkul atau dibajak. Namun, tidak sedikit yang mengupas tanah lahan sawah tersebut untuk kemudian ditanami padi.

Mengikuti pola perladangan tanpa bakar, tentu pola sawah tadah hujan inipun dapat menggunakan cara yang sama, walaupun tidak seefektif sawah dengan pola pengairan, yang dengan mudah menjadikan tanah sawah menjadi lumpur untuk kemudian rerumputan/bekas batang padi dibenamkan ke dalamnya.

Tindakan Terhadap Perusahaan Pembakar Lahan
Kalau petugas penyidikan mendatangi lahan sebuah perusahaan yang telah melakukan pembakaran, dilihat sendiri dengan mata kepala sang petugas, mengapa harus dibuktikan lagi dengan mengirim sampel ke laboratorium kebakaran?

Perusahaan pembakar lahan akan membela diri dengan mengatakan: “Kenapa hanya kami yang ditindak? Bagaimana dengan peladang berpindah yang setiap tahun membakar lahan untuk ladangnya? Bagaimana dengan petani di sekitar kota Pontianak yang membakar lahan sehingga terjadi kebakaran di sekitar Bandara Supadio? Kenapa tidak ditindak?”

Seorang teman menjawab: “Asap peladang tradisional di pedalaman yang membakar lahan untuk ladang, sejak ratusan tahun lalu tidak menyebabkan penumpukan asap sehingga menimbulkan bencana. Kecuali, terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sehingga gambut ikut terbakar, pasti asapnya akan menumpuk menyebabkan bencana. Asap kebakaran tanah gambut berbeda baunya dengan asap pembakaran kayu dan daun kering. Yang harus ditindak adalah pembakar lahan skala besar yang menyebabkan bencana asap, ketimbang peladang tradisional (termasuk petani sawah) yang selalu menjadi kambing hitam. Namun setuju bila pembakar lahan, siapapun dia, karena kelalaiannya menyebabkan kebakaran hutan yang luas di luar lahan yang ditetapkan, untuk ditindak dan dihukum, baik lewat hukum adat, maupun hukum pidana/perdata, sesuai dengan prosedurnya.”

Pada bagian awal tulisan ini, penulis mendahulukan ide-ide untuk mengatasi masalah pembakaran lahan yang sering dituduhkan kepada peladang tradisional, sebagai penyebab bencana asap. Mengakhiri tulisan ini, penulis mempertanyakan, mengapa pemerintah kurang tegas menindak perusahaan yang jelas-jelas secara fakta membakar lahan dalam skala besar, termasuk memperalat anggota masyarakat untuk melakukannya dengan bayaran uang. Apakah karena perusahaan tersebut akan memberikan pendapatan pemasukan ke kas daerah, sehingga ada kecenderungan untuk membiarkan pembakaran lahannya?

Kelihatannya, pemerintah daerah barulah mulai bertindak tegas setelah pemerintah pusat “marah” karena negara tetangga juga “marah”!

sumber : Piet Herman Abik (Penulis adalah Anggota DPD RI 2004 - 2009).

”Sawit : Masa Depan Tanpa Keadilan ”

Shaban Stiawan

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit satu-satunya ancaman bagi kelestarian hutan-hutan dan kehidupan yang ada di dalamnya. Dalam pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit penghancuran lahan dan hutan yang tak terkendali. Tahun 1997 perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan membuka lahan dengan cara membakar dan otomatis kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dapat menimbulkan bencana yang nilai kerugiannya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan nilai investasi yang ditanam. Oleh karena itu, pengembangan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar sering dituding sebagai penyebab kerusakan lahan dan hutan, meningkatnya kadar karbon dioksida di udara akibat pembukaan lahan dengan dibakar, dan hilangnya jenis flora dan fauna tertentu. Lebih lanjut, tanaman sawit juga rakus akan air dan hara.

Kerugian ekologis akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit berhubungan erat dengan konsekuensi terburuk yang ditanggung masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Dalam kertas posisi WALHI yang berjudul Lingkungan Hidup: untuk Kehidupan Tidak untuk "Pembangunan" (25 Oktober 2004), konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan kerusakan pada kawasan hutan alam mengancam hak-hak masyarakat di sekitar hutan yang berhubungan dengan akses terhadap sumber daya hutan, termasuk di dalamnya hak-hak masyarakat adat yang telah diatur berdasarkan kesepakatan dalam satuan masyarakat hukum adat bersangkutan.

Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan yang sebagian besar diusahakan di Kalimantan Barat membawa dampak pada keterpinggiran masyarakat yang mengarah pada upaya penghilangan hak dasar mereka yang mereka berlakukan dalam mengelola sumber daya alam. Berkaitan dengan kasus-kasus di Kalimantan Barat yang memiliki sejarah panjang perkebunan kelapa sawit, pengingkaran hak-hak adat Dayak yang tersebar di Kalimantan Barat tidak hanya mengancam kelangsungan hidup komunitas tersebut tetapi juga tradisi pengelolaan hutan yang telah diakui sebagai salah kearifan masyarakat secara turun temurun bagi masyarakat setempat. .

Sawit merupakan salah satu komoditas utama perdagangan dunia untuk menenuhi kebutuhan konsumsi Amerika dan negara-negara di eropa dan ternyata sawit bisa dijadikan bahan bakar nabati (biofuel) untuk bahan bakar alternatif. Artinya semakin mendongkrak popularitas kelapa sawit di Indonesia pada umum dan Kalbar pada khususnya.

Mengacu pada data Oil World Annual 2003, Jan Maarten Dros dari AIDenvironment dalam Accommodating Growth: Two Scenarios for Oil Palm Production Growth (2003) menyebutkan Indonesia dan Malaysia menguasai 84 % produksi minyak sawit di pasar dunia pada tahun 2002. Namun, keuntungan menggiurkan dari perdagangan minyak sawit tidak pernah lepas dari risiko ekologis yang menuntut harga yang sangat mahal. .

Program pengembangan perkebunan kelapa sawit menghadapkan pemerintah pada berbagai tekanan, yaitu perlawanan masyarakat sekitar kawasan hutan yang kehilangan sumber penghidupan, ancaman kerusakan ekologis, dan kelangsungan manfaat hutan untuk masa yang akan datang. Akan tetapi, mengapa kelapa sawit tetap diunggulkan sebagai komoditas andalan bagi Indonesia pada umun dan Kalbar khususnya.
Salah satu faktor yang mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kalbar adalah ketersediaan lahan yang sangat mudah, posisi tawar masyarakat lemah dang anti rugi sangat murah bagi mereka yang diberada di kawasan hutan, yang dipermudah dengan adanya kemungkinan untuk memanipulasi hukum dan peraturan mengenai tanah dan hutan.

Menurut data WALHI Kalbar telah tercatat sekitar 200-an kasus di perkebunan kelapa sawit menyangkut pengusuran lahan pertanian, tanam tumbuh, tempat keramat, ganti rugi yang tidak layak dan konflik antara yang menerima dengan tidak mau menerima perkebunan kelapa sawit (data base WALHI, 2007). Sengketa tanah yang memicu konflik beragam menyangkut penguasaan hutan di berbagai wilayah di Kalbar menegaskan kegagalan pemerintah dalam menyelaraskan pembangunan dengan struktur social, ekonomi masyarakat setempat, serta kaitan sejarah masyarakat bersangkutan dengan hutan. Pembangunan di sektor perkebunan khusus komoditi sawit pada dasarnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Alih fungsi lahan dan hutan untuk mendukung program pengembangan sektor ekonomi yang dapat membuka lapangan pekerjaan sekaligus menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar serta meningkat ekonom kerakyatan Namun program pengembangan perkebunan kelapa sawit tampaknya menjadi jawaban bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kenyataannya, peningkatan kesejahteraan tidak pernah terwujud dan keadaannya menjadi terbalik.

Investasi bernilai miliaran dolar itu justru membuat rakyat kehilangan tempat tinggal, ruang social serta kehilangan kemandirian dalam membangun kesejahteraannya sendiri. Namun, kebijakan yang salah arah ternyata tidak menghentikan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Angka statistik perluasan perkebunan kelapa sawit di Kalbar mencapai 3.508.281,79 hektar dengan jumlah 250 perusahaan (Data Disbun, 2006).

Dalam kasus sawit, pengembangan perkebunan kelapa sawit membuat masyarakat adat dan petani setempat terdesak di tanah mereka sendiri. Michael R. Dove dalam bagian pendahuluan untuk kumpulan hasil penelitian berjudul Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi (1985) mengungkapkan bahwa landasan utama bagi semua program pembangunan pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat yang dianggap 'tertinggal' dalam proses pembangunan adalah 'upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat'. Faktanya, kepentingan pembangunan itu, menurut Michael R. Dove, jarang dibuktikan dengan data empiris mengenai taraf hidup masyarakat bersangkutan dan bila dikumpulkan tentu saja tidak mendukung persepsi para perencana pembangunan tersebut.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit, terutama di Kalimantan Barat, telah menunjukkan arah perubahan yang jelas, yaitu perubahan ekologi akibat perubahan tata guna lahan hutan yang berujung pada tercerabutnya masyarakat dari hak asasi atas lingkungan hidup. Pemerintah tampaknya tidak memperhitungkan biaya mahal perubahan sosial yang harus ditanggung masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan. Usaha-usaha untuk membuat pengelolaan hutan yang berkelanjutan tidak dapat dilakukan hingga kebijakan pengelolaan hutan yang mempertahankan nilai ekologis hutan seutuhnya dirumuskan kembali. Pada pembukaan areal hutan untuk perkebunan kelapa sawit tanpa memperhitungkan risiko ekologi pada akhirnya menjadi beban masyarakat luas yang justru tidak ikut menikmati keuntungan dari hasil pengusahaan hutan . Pembangunan di sektor perkebunan kelapa sawit telah mengarah pada akumulasi kekayaan di satu sisi dan pemiskinan di sisi lainnya. Terutama bagi masyarakat yang berada di areal perkebunan maupun mereka yang memiliki kebun kelapa sawit.

Masa depan Kalbar tergantung pada pengelolaan sumber daya alam dan hutan berkelanjutan yang mempertimbangkan nilai “ekologis “hutan secara utuh. Pengelolaan sumber daya alam dan hutan semacam itu telah ada dalam sistem masyarakat setempat

Usaha pengelolaan SDA dan hutan yang berkelanjutan membutuhkan upaya pengakuan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan yang menjamin kekayaan hutan bermanfaat bagi masyarakat di sekitar hutan dan juga bagi negara. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah dan para pendukung pembaharuan kebijakan harus bekerjasama dengan masyarakat di sekitar lahan dan kawasan hutan dalam menggerakkan perekonomian setempat pada penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih memberikan banyak pilihan. Pilihan yang lebih baik bagi masyarakat akan berlaku efektif bila unsur-unsur pengelolaan tradisional ikut dimasukkan dalam penerapan kebijakan yang baru.

Menurut kami bahwa perkebunan skala besar tidak akan mungkin bisa mengantikan fungsi ekologi, oleh karena itu pemerintah pusat maupun daerah harus menghentikan perluasan perkebunan kelapa dan mengoptimalisaikan perkebunan kelapa sawit yang telah ada dengan melakukan monitoring dan evaluasi

***

Catatan akhir tahun 2010

Oleh ; Shaban Stiawan
(Mantan Direktur Walhi Kalimantan Barat)
Tidak terasa setahun telah berjalan dan sebentar lagi kita akan mengakhiri tahun 2010 kurang lebih 24 hari lagi, ternyata ruang dan waktu begitu cepat dan sangat singkat bagi kita untuk melakukan perubahan-perubahan bagi negeri ini. Kalau kita melihat, mendengar dan membaca media-media lokal dan bahkan nasional baik di media cetak dan electronic sebagian elit politik, birokat sibuk dengan rutinitas retorika. Sedangkan rakyat terus menjerit dengan situasi ekonomi yang tidak berpihak, infrastruktur, listrik, air bersih dan semakin ekstrimnya cuaca yang mengakibatkan gagalnya panen rakyat. Kondisi ini membuat saya untuk membuka catatan diblocknote mungkin bisa berguna dari pada saya simpan di lemari buku.

Awal tahun lalu sembari saya melakukan assessment of tengkawang yield potential duringthe February – Maret Season di kalimantan barat ada catatan diblocknote tersebut tentang keluhan /kejadian salah satu masyarakat yang ada di kampung kulan kecamatan embaloh hulu, kapuas hulu dan kampung batu menang, marau, ketapang. adapun keluhan yang mereka rasakan adalah belum adanya penerangan terutama listrik negara dan jalan yang baik . Kejadian ini sangat kontras dengan janji pemerintah pusat untuk listrik” tanpa pemadaman diberbagai daerah” Permasalahan selain listrik dan jalan yakni hasil pertanian/perladangan dan perkebunan tidak mencukupi untuk menenuhi kebutuhan sehari-hari, untuk mencukupi kebutuhan terutama beras dan sayur –mayur harus membeli dengan pihak lain (tutur V.Jebing ; tuai rumah panjang kulan*). Selain itu di kampung Kulan, Embaloh Hulu Kapuas Hulu sangat resah dengan adanya isu perusahaan sawit akan masuk kekampung. Hal yang sama juga terjadi di kampung Batu Menang, Marau Ketapang sampai hari ini masih belum ada penyeselesaian dengan perkebunan kelapa sawit yakni perusahaan asing milik Malaysia. Kemudian saya membuka lagi lembaran blocknote yakni tentang dampak buruk pertambangan emas di sungai melawi akibat jalur sungai rusak dan dangkal, pada saat musim kemarau tidak bisa dilalui oleh transportasi dan kemudian saat musim penghujan air tersebut meluap ke pemukiman penduduk yang ada di sepanjang sungai melawi. Kemudian lembaran blocknote berikutnya saya juga mencatat kejadian banjir ekstrim seluruh wilayah kecamatan yang ada Kapuas Hulu dengan kerugian harta dan benda masyarakat yang begitu besar serta gagal panen pagi dan perikanan.

Selain yang ada dicatatan blocknote saya juga membuka kliping-kliping koran lokal dan nasional dan di kliping tersebut dtemukan berita-berita tentang kasus perkebunan kelapa sawit di kalimantan barat walaupun adanya kasus seperti penyakit endemik (malaria, demam berdarah), HIV/AIDS, TKI, pembalakan hutan, illegal mining, lambatnya distribusi bahan bakar minyak, kelangkaan minyak tanah di daerah perhuluan, kerawanan pangan dan bencana banjir. Dalam kliping tersebut yakni kasus di sektor perkebunan sawit yang dominan misalnya kasus Smart Group tbk, Wilmar, Cargill ,Sime Darby, PTN XII, Lonsum Group dan banyak lagi anak perusahaan-perusahaan asing dan dalam negeri. Kasusnya antara lain adalah konflik lahan, ganti rugi yang tidak layak, tumpang tindih lahan, legalitas, kebakaran lahan, pencemaran air bersih ,konversi lahan gambut, merampas wilayah kelola masyarakat adat, pencurian buah sawit oleh petani, pembagian kapling dan masalah amdal. Selain tercatat blocknoteku dan kliping koran bahwa kasus yang selalu teringat dibenak saya adalah kasus “andi japin” sampai-sampai ke makamah konstitusi (MK) dan juga masyarakat adat semunying jaya yang kasus sampai ke PBB ditingkat internasional namun keadilan belum juga berpihak terhadap rakyat. Ternyata dari catatan-catatan blocknoteku dan kliping koran untuk kasus-kasus khususnya sektor perkebunan sawit masih mendominasi pada tahun 2010.

Lembaran terakhir catatan diblocknoteku dan kliping adalah kejadian/kasus yang baru adalah perusahaan perkebunan sawit yakni PT. RAP di sosok kabupaten Sanggau, kasus tersebut adalah permasalahan legalitas kepemilikan begitulah kira-kiranya. Namun saya tdiak mengetahui secara pasti dan menyeluruh, namun kejadi-kejadian, keluhan, informasi lapangan yang saya catat melalui diblocknote dan kliping koran tersebut hanya ingin mendokumentasikan sebagian kejadian yang mungkin dapat kita petik secara bersama, bahan refleksi ataupun bisa menjadi pembelajaran untuk tahun-tahun berikutnya. Mudah-mudahan catatan yang tidak secara sistematis diblocknoteku/kliping koran ini bisa mengugah bagi pembaca, politisi, pengusaha, lembaga sosial kemasyarakat/Ngo’s, akademisi, pratisi hukum, penegakan hukum dan kalangan birokrat. Amin…….
***