Senin, 02 Mei 2011

EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT MEMPERSIMPIT LAHAN DAN SUMBER PANGAN LOKAL

Oleh ; Shaban Stiawan

Ringkasan Laporan

“ Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk gendut karena menghisap keringat orang-orang diserahi menggarap tanah itu” Jangan kira landreform yang hendak kita laksanakan adalah komunis! Hak milik atas tanah masih kita akui!orang masih boleh punya tanah turun temurun. Hanya luasnya milik itu diatur baik maksimunnya maupun menimunnya, dan hak milik atas tanah itu kita nyatakan berfungsi social, dan Negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hokum memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada hak perseorangan “ (Soekarno, 1960)

Praktek Pelanggaran Hak-hak masyarakat atas sumber-sumber agraria oleh perusahaan-perusahaan Penanam Modal Besar terutama perkebunan besar kelapa sawit memperoleh dukungan resmi dari Pemerintah, terbukti dari adanya dokumen-dokumen hukum yang menjadi dasar bagi adanya Hak-hak baru (seperti: Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Kuasa Pertambangan, Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Tanaman Industri) di atas sumber-sumber agraria maupun di dalam perut bumi.
(Maria R. Ruwiastuti, 1997)

Hak-hak masyarakat atas sumber-sumber agraria merupakan hak dasar sebagai bukti penguasaan, pemanfaatan tanah/lahan dan segala hasil olahan di atas tanah. Hubungan masyarakat (rakyat) dengan negara dalam hal penguasaan tanah, issue ini memiliki dimensi hukum yang sangat komplek, namun pada intinya adalah tidak ada pengakuan sistem penguasaan dan pemanfaatan tanah masyarakat. Ketika suatu hak baru diberikan oleh pemerintah pada kelembagaan ekonomi dan politik modern untuk menguasai tanah, mengekploitasi hasilnya dan/atau membangun segala sesuatu yang baru di atas teritori masyarakat, maka issue seccurity of tenure menjadi sangat relevan. Pemberian hak baru ini misalnya Hak Guna Usaha (HGU), akan dengan sendirinya mengubah susunan dari tata guna tanah (land use) di kawasan tersebut.

Beberapa tahun terakhir ini khususnya di Kalimantan Barat mengalami peningkatan investasi pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sehingga pembangunan perkebunan sawit menjadi wacana menarik yang menimbulkan situasi pro dan kontra, dimana dalam penetapan kebijakan perkebunan sawit yang melibatkan komponen pemerintah daerah dan investor memerlukan analisa yang komprehensif baik dalam proses, system dan scenario kedepan yang akan terjadi.

Argumentasi para investor khusus sekor perkebunan besar kelapa sawit yang didukung oleh kebijakan pemerintah menyebutkan bahwa Permintaan atas minyak nabati dan penyediaan untuk biofuel yang bersumber dari Crude Palm Oil (CPO). Tanaman kelapa sawit memiliki potensi menghasilkan minyak sekitar 7 ton / hektar bila dibandingkan dengan kedelai yang hanya 3 ton/hektar. Kalimantan Barat memiliki potensi pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sangat besar karena memiliki cadangan lahan yang masih luas, ketersediaan tenaga kerja, dan kesesuaian agroklimat.
Kebijakan pertanahan yang dominan adalah pengadaan tanah (konversi) untuk investasi perkebunan kelapa sawit dan proyek pemerintah melalui intervensi kebijakan pemerintah baik berupa pemberian hak atas tanah, hak usaha, dan berbagai ijin lainnya maupun intervensi langsung dalam berbagai praktek pengadaan tanah tersebut. Intervensi Pemerintah dalam pengadaan tanah tersebut dijalankan melalui mekanisme ektra-ekonomi, dimana otoritas pengadaan tanah tersebut berada pada instansi-instansi sektoral atau kebijakan penguasan daerah. Salah satu objek utama dari pengadaan tanah melalui intervensi kebijakan pemerintah ini adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat. Pada dasarnya, posisi penguasaan tanah oleh masyarakat sangat lemah, ketika harus berhadapan dengan lembaga pemerintah yang memberikan ijin kepada investor.

Konsekuensi langsung dari praktek pengadaan tanah atau konversi kawasan ini bagi masyarakat adalah hancurnya land and tree tenurial system dari banyak komunitas masyarakat adat. Pada gilirannya, hal ini memicu terjadinya sengketa atau konflik penguasaan tanah baik dari segi juridis maupun konflik penguasaan de facto terhadap tanah. Lebih jauh lagi masyarakat semakin terpinggirkan dalam penguasaan sumber daya tanah dan terpinggirkan dalam pengelolaan sumber-sumber penghidupan.

Perampasan hak masyarakat atas sumber daya tanah, baik yang dikuasasi secara bersama (‘tanah komunal’), maupun yang dikuasai oleh perorangan (‘tanah privat’) merupakan bentuk pelanggaran hak-hak dasar suatu komuntas dan menghancurkan fundamen keberlanjutan kehidupan masyarakat. Semakin sempit sumber daya tanah yang dikuasasi oleh masyarakat marginal dalam hal ini petani, maka akan semakin melemahkan sumber-sumber penghidupan yang bisa diusahakan, sehingga berpengaruh langsung dalam ketahanan pangan masyarakat.

Tulisan ini membuat asesmen terhadap arus pikiran utama yang mempengaruhi hilangnya sumber-sumber penghidupan dan ketahanan pangan masyarakat. Pernyataan pokok penulis dalam penelitian ini adalah konversi lahan pangan dan pertanian untuk perluasan perkebunan sawit berdampak langsung terhadap ketahanan pangan dan sumber penghidupan masyarakat adat dan masyarakat local. Sehingga kebijakan pemerintah yang memberikan ijin investasi perkebunan kelapa sawit telah membuka ruang dalam penghancuran sistem-sistem ketahanan pangan masyarakat local.

Hasil Temuan Lapangan

Pemerintah Daerah Kabupaten Sekadau sudah memberikan ijin kepada 20 perusahaan perkebunan kelapa sawit, seperti izin prinsip, izin lokasi dan HGU sebagai berikut :

Tabel 1 : Rekapitulasi Perkebunan Kelapa Sawit
Kabupaten Sekadau – Kalimantan Barat
Tahun 2010
No Nama Perusahaan Lokasi Kebun Sawit Luas izin Lokasi (Ha)
1 PT. Kalimantan Sanggar Pusaka Belitang Hulu 31,000
2 PT. Kalimantan Bina Permai Belitang dan Belitang Hulu 34,500
3 PT. Grand Utama Mandiri Belitang Hulu 20,000
4 PT. Parna Agro Mas Belitang Hilir 17,827
5 PT. Permata Hijau Sarana Sekadau Hilir 5,500
6 PT. Multi Perkasa Entakai Sekadau Hilir 27,613
7 PT. Agro Plangkan Lestari Sekadau Hilir 4,000
8 PT. Multi Perkasa Entakai II Sekadau Hilir 3,500
9 PT. Multi Jaya Perkasa Sekadau Hilir 16,150
10 PT. Surya Deli Sekadau Hilir 5,506
11 PT. Bintang Sawit Lestari Sekadau Hulu 6,500
12 PT. Agro Andalan Sekadau Hulu 18,000
13 PT. Tinting Boyok Sawit Lestari Sekadau Hulu 7,000
14 PT. Sumatera Makmur Lestari Ng Taman & Sekadau Hulu 20,000
15 PT. Agrindo Prima Niaga Nanga Taman 7,000
16 PT. Arvena Sepakat Ng Taman dan Ng Mahap 28,000
17 PT. Agri Anugerah Lestari Sekadau Hilir 9,000
18 PT. Seguri Serasau Sejahtera Sekadau Hulu 10,600
19 PT.Kopbun Tirta Makmur Sejahtera Sekadau Hilir 480
Total luas 303,642
Sumber/source : dinas kehutanan dan perkebun Sekadau, 2010

Tabel 1, memperlihatkan nama-nama perusahaan perkebunan kelapa sawit dan luasan kawasan yang dikuasai. Data table tersebut direkap sejak tahun 1990-an hingga tahun 2010, dimana sudah ada sejak Kabupaten Sekadau menginduk di Kabupaten Sanggau. Pengembangan perkebunan rakyat yang dilaksanakan melalui pola PIR Trans (perusahaan inti rakyat transmigrasi) dengan pionir PT. Multi Prima Entakai ( MPE ) di Kecamatan Sekadau Hilir, PT. Surya Deli (SD) di Kecamatan Sekadau Hilir dan Sekadau Hulu, PT. Multi Jaya Perkasa (MJP) di Kecamatan Sekadau Hilir dan Sekadau Hulu dan PT. Kalimantan Sanggar Pusaka (KSP) di Kecamatan Belitang dan Belitang Hulu. Perkebunan kelapa sawit merupakan komoditi unggulan bagi Kabupaten Sekadau selain tanaman karet. Dari jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut, jumlah penduduk yang terlibat sebanyak +. 13.000 kepala keluarga petani dengan rencana tanam seluas + 180.000 hektar. Jumlah bertambah seiring dengan luas kebun yang dikonversi.

Sejak UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah diberlakukan, secara signifikan Pemerintah Daerah mengeluarkan ijin baru perluasan perkebunan kelapa sawit pada beberapa perusahaan. Kewewenangan ini berada dibawah Bupati, sebagai kondisi dilapangan ternyata tidak memiliki ruang public yang mengakomodir persepsi dan kepentingan parapihak khususnya masyarakat adat dan local. Akhirnya penelitian ini merekomendasikan pentingnya dilakukan penilaian ulang terhadap kebijakan pembangunan perkebunan sawit terutama dikawasan kelola rakyat, merevitalisasi kolabiratif manajemen pengawasan perkebunan sawit untuk mengelola membangun kebun secara optimalisasi agar kedepan tidak meluas krsisis lahan dan pangan masyarakat adat dan local. Di sisi lain pengembangan perkebunan kelapa sawit saat ini telah berdampak besar terhadap penyempitan lahan pangan dan sumber penghidupan masyarakat local dan masyarakat adat. Menurut data dinas pertanian, perternakan dan perikanan pada tabel dibawah ini.

Menurut kepala dinas pertanian dan prikanan Kabupaten sekadau, Adrianus Adrianto Gondokusumo, mengatakan produksi padi di Kabupaten sekadau dalam satu tahun mencapai rata 1500 hingga 1700 ton. Angka tersebut cukup untuk menenuhi kebutuhan pangan masyarakat sekadau. Hasil panen pertahun hanya bisa mencukupi kebutuhan pangan masyarakat selama Sembilan bulan. Dengan jumlah penduduk semakin bertambah untuk melakukan swasembada beras masih jauh dari harapan. Terbukti hasil panen belum mencukupi kebutuhan selama setahun ( borneo tribune, 17 Februasi 2011, www.borneo-tribune.net


Kebutuhan dasar masyarakat merupakan hak yang harus dijamin oleh Pemerintah sebagai kelangsungan hidup manusia. Kesepakatan Internasional dan Perundangan Nasional, hak dasar seperti kebutuhan pangan merupakan hak asasi manusia. Pasal 25 ayat 1, deklarasi universal hak asasi manusia menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas suatu sumber berdirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan rumah...” sementara itu, Undang-undang (UU) No 7 Tahun 1996 tentang pangan, secara jelas juga menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat indonesai dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Namun secara gamblang pemerintah tidak menjamin hak asasi atas pangan, ruang kelola serta akses ke sumber pangan masyarakat terbatas.

Krisis pangan terjadi ketika masyarakat tidak mampu menyuplai dirinya sendiri untuk kebutuhan pangan keluarga. Seperti yang terjadi di Desa Sungai Ringin yang meliputi Kampung Selalong I dan II, dimana sekitar 90 % luasan wilayah sudah menjadi kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit. 10 % nya merupakan kawasan pemukiman dan sedikit lahan yang dapat diusahakan untuk pemenuhan kebutuhan hidupsehari-hari.

Perijinan pelepasan kawasan yang diberikan oleh Pemerintah untuk perusahaan perkebunan besar kelapa sawit tidak berpihak kepada masyarakat local, bahkan tidak melalui proses pelibatan masyarakat setempat, hal inilah yang menyebabkan keberlanjutan hidup masyarakat local peluangnya semakin kecil. Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah mendapatkan ijin mengelola kawasan, orientasinya hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal kecil. Eksistensi masyarakat setempat dengan berbagai sumber penghidupan juga ikut tergerus oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Sehingga ruang kehidupan sebagai tumpuan hidup dan bersosialisasi semakin terbatas, demikian pula dengan ruang untuk usaha semakin menghilang.

Praktek pengelolaan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kampung Selalong I dan II menggunakan strategi take over (pindah tangan), hal ini diterapkan untuk cuci tangan atau menghilangkan persoalan dengan masyarakat dan lingkungan hidup. Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sekarang eksis di Kampung Selalong I dan II adalah perusahaan Gunas Group dengan sahan sebesar 63 %. Proses peralihan pemegang saham tanpa sepengatahuan masyarakat, sehingga persoalan yang belum diselesaikan oleh perusahaan terdahulu dengan masyarakat semakin tidak jelas.

Pemukiman Kampung Selalong I dan II dihuni oleh 215 KK, dengan luas lahan yang tersedia atau yang dapat diusahakan untuk pertanian hanya 10 % dari luas total kampong. 95 % penduduk di Kampung Selalong mengandalkan dari hasil pertanian, artinya mata pencaharian utamanya adalah mengolah hasil pertanian (petani). Jika luas wilayah yang bisa di kelola oleh masyarakat Selalong hanya 10 % nya dengan jumlah jiwa 215 KK, maka Kampung Selalong diprediksi sudah mengalami krisis pangan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga tidak jarang masyarakat local yang notabene sebagai penguasa diwilayahnya terpaksa harus menjadi buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit, karena tidak ada pilihan lain.

Ketersediaan sumber pangan merupakan hal fundamental agar terbebas dari kelaparan dan kurang gizi, hal inipula sebagai hak dasar manusia. Hak Asasi Manusia atas bahan pangan yang layak mempunyai arti penting untuk pemenuhan dari semua hak asasi . Konversi kawasan kebun dan pertanian masyarakat local beserta sumber daya alam lainnya menjadi perkebunan monokultur kelapa sawit merupakan strategi dalam proses pemiskinan masyarakat local. Nilai dan norma yang berlaku di Kampung Selalong mengalami degradasi, karena rantai kehidupan yang diwariskan dari pendahulunya terputus, tidak hanya system social yang yang sudah tercemar tetapi juga ekosistemnya sudah tidak berfungsi lagi.

Hal tersebut merupakan gambaran fakta yang terjadi di Kampung Selalong, dimana kearifan local dalam mengelola sumber-sumber kehidupan yang beraneka ragam dan dikelola secara bersama-sama, hilang dalam waktu sekejap tergantikan dengan hamparan perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh segelintir orang. Praktek pemberian ijin yang dilakukan oleh Pemerintah untuk Perusahaan Besar Perkebunan Kelapa sawit tanpa mempertimbangkan eksistensi masyarakat lokal dengan sumber-sumber penghidupannya, merupakan strategi yang sistematis dalam proses pemiskinan dan menghancurkan sumber penghidupan masyarakat.

Akhirnya investigasi ini merekomendasikan pentingnya dilakukan penilaian ulang terhadap kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit terutama di kawasan-kawasan yang kelola oleh masyarakat adat dan local. Segera merevitalisasi dan peninjau kembali aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat local, sebagai antisipasi krisis pangan masyarakat local.