Sabtu, 15 Januari 2011

MINYAK SAWIT ; ANTARA KENIKMATAN DAN BENCANA EKOLOGIS

Oleh : Shaban Stiawan (Direktur Eksekutif 2006 – 2009 )

Hampir semua masyarakat ekonomi kelas menengah ke atas sangat tinggi mengkonsumsi minyak goreng, minyak goreng ini dapat kita jumpai di pasar-pasar tradisional, toko-toko kecil maupun toko-toko besar, mini market dan Mall-Mall dengan merek dan disain yang sangat menarik. Kadang kala kita tidak pernah menyadari, ketika melihat suatu produk yang sudah jadi atau sudah memjadi barang mewah dengan tidak adan beban mengeluarkan sejumlah uang dari dompet untuk membeli barang tertentu terutama kebutuhan minyak goreng. Apalagi kalau kita mengunjungi Mall-Mall banyak ibu-ibu rumah tangga berbelanja minyak goreng dengan jumlah yang banyak dengan tujuan untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga untuk satu bulan. Kalau anda juga mengunjungi rumah makan atau Cafe-Cafe yang ternama di negeri kita ini, tentu dapat mencium/merasa lesatnya olesan minyak goreng murni dari produk kelapa sawit.

Produk tersebut telah diminati cukup lama di dunia ini, terutama negara-negara maju yang tingkat konsumsi akan minyak goreng tinggi seperti Amerika, Eropa dan beberapa Negara Asian lainnya. Oleh karena itu, permintaan dunia akan minyak sawit semakin meningkat. Atas dasar itu negara-negara berkembang yang menjadi korban seperti Indonesia, Papu Nugini dan Filipina. Dimana permintaan konsumem/penikmat bisa mengalahkan kepentingan masyarakat yang secara langsung memiliki lahan maupun kawasan hutan.

Pada headline news di berbagai stasiun televesi nasional, pemenerintah berkeinginan menekan harga minyak goreng dengan memasok 100.000 ton CPO untuk menjaga keseimbangan nilai harga dalam negeri. Artinya akan menambah penderitaan rakyat yang lebih memdalam, karena sebelumnya wakil presiden Jusuf Kala dan wakil perdana menteri Malaysia, Tun Sri Muhammad Najib, membuat kesepakatan bekerjasama melawan WTO dalam rangka menguasai sebesarnya pangsa minyak kelapa sawit dunia. Karena itu perluasan perkebunan kelapa sawit memperlihatkan dinamika yang luar biasa. Pada tahun 1995 luas total perkebunan kelapa sawit 2,024.986 ha. Dengan komposisi, 32,5% perkebunan rakyat, 47,4% perkebunan swasta besar dan sisanya perkebunan negara. Dalam kurun waktu 10 tahun, total perkebunan sawit telah menjadi 5,601,776 ha, dengan rata-rata pertumbuhan 12,4% per tahun. Artinya perkebunan rakyat lebih kecil dari perkebunan swasta dan negara.
Permintaan akan minyak kelapa sawit berdampak secara langsung terhadap propinsi Kalimantan Barat, di wujudkan dengan luasan kelapa sawit mencapai 397.029 hektar yang di canangkan oleh Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat. Hal tersebut di sampaikan oleh Ir Wawan Hermawan selaku Kepala bidang perlindungan dan Perencanaan disbun Kalimantan Barat yang akan membangun sentral benih sawit tersebar dengan perkiraan anggaran sekitar Rp 15 milyar. Dan untuk memperluas perkebunan sawit di Kalbar, pemerintah telah membuat proyeksi pengembangan komoditas 2005 – 2008. Dengan peningkatan sebagai sebagai berikut: tahun 2005 (382.324) 2006(397.029) 2007 (411,734) dan 2008 (426.439) hektar dengan pertumbuhan 4.0 persen (disbun Kalbar-2006)

Pemerintah propinsi kalbar juga menyediakan lahan seluas 20.000 hektar untuk perkebunan kelapa sawit bagi pegawai negeri sipil dengan memfaatkan areal milik, perusahaan yang ijinnya terancam dicabut. Lokasinya di Kabupaten Pontianak, tapi pemerintah kabupaten pernah mengeluarkan ijin kepada perusahaan. Namun lahan belum difungsikan hingga ijin berakhir.

Tidak di sangka-sangka proses minyak goreng yang di konsumsi semua elemen bangsa nampaknya tidak dapat dipisahkan dari tindak pemaksaaan, intimidasi dan kekerasan. Kasus-kasus sengketa antara manajemen perkebunan dengan masyarakat adat/lokal dapat ditemui di berbagai jenis perkebunan, tidak terbatas pada perkebunan kelapa sawit.
Akibat lain dari sisi minyak goreng (sawit) adalah dampaknya pada perekonomian rakyat, dimana terjadi penghancuran basis eksistensi ekonomi masyarakat serta hilang sumber ekonomi lain. Kemudian berbuntut pada meningkatnya bencana banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan konflik vertikal dan horizontal. Berdasarkan data walhi Kalimantan Barat ada 200 kasus yang berupa perampasan lahan, pengusuran dan intimidasi.(WALHI).

Kemudian gerakan civil society mengeliat di pelosok negeri baik buruh, petani sawit, dan masyarakat adat. Tidak kalah penting seorang romo William Chang angkat bicara seputar sawit, bahwa perkebunan sawit bukan juru selamat, tetapi bencana bagi sumber daya alam dan rakyat Indoensia, khususnya masyarakat lokal.

Jalan keluar yang terbaik adalah segera menghentikan perluasan perkebunan sawit serta memperbaiki perkebunan yang sudah ada saat ini, mendorong potensi lokal dengan memperhatikan kemampuan dan sumber daya setempat*** stop....mencair minyak sawit...

http://saveourborneo.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=177

Tidak ada komentar:

Posting Komentar