Sabtu, 15 Januari 2011

”Sawit : Masa Depan Tanpa Keadilan ”

Shaban Stiawan

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit satu-satunya ancaman bagi kelestarian hutan-hutan dan kehidupan yang ada di dalamnya. Dalam pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit penghancuran lahan dan hutan yang tak terkendali. Tahun 1997 perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan membuka lahan dengan cara membakar dan otomatis kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dapat menimbulkan bencana yang nilai kerugiannya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan nilai investasi yang ditanam. Oleh karena itu, pengembangan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar sering dituding sebagai penyebab kerusakan lahan dan hutan, meningkatnya kadar karbon dioksida di udara akibat pembukaan lahan dengan dibakar, dan hilangnya jenis flora dan fauna tertentu. Lebih lanjut, tanaman sawit juga rakus akan air dan hara.

Kerugian ekologis akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit berhubungan erat dengan konsekuensi terburuk yang ditanggung masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Dalam kertas posisi WALHI yang berjudul Lingkungan Hidup: untuk Kehidupan Tidak untuk "Pembangunan" (25 Oktober 2004), konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan kerusakan pada kawasan hutan alam mengancam hak-hak masyarakat di sekitar hutan yang berhubungan dengan akses terhadap sumber daya hutan, termasuk di dalamnya hak-hak masyarakat adat yang telah diatur berdasarkan kesepakatan dalam satuan masyarakat hukum adat bersangkutan.

Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan yang sebagian besar diusahakan di Kalimantan Barat membawa dampak pada keterpinggiran masyarakat yang mengarah pada upaya penghilangan hak dasar mereka yang mereka berlakukan dalam mengelola sumber daya alam. Berkaitan dengan kasus-kasus di Kalimantan Barat yang memiliki sejarah panjang perkebunan kelapa sawit, pengingkaran hak-hak adat Dayak yang tersebar di Kalimantan Barat tidak hanya mengancam kelangsungan hidup komunitas tersebut tetapi juga tradisi pengelolaan hutan yang telah diakui sebagai salah kearifan masyarakat secara turun temurun bagi masyarakat setempat. .

Sawit merupakan salah satu komoditas utama perdagangan dunia untuk menenuhi kebutuhan konsumsi Amerika dan negara-negara di eropa dan ternyata sawit bisa dijadikan bahan bakar nabati (biofuel) untuk bahan bakar alternatif. Artinya semakin mendongkrak popularitas kelapa sawit di Indonesia pada umum dan Kalbar pada khususnya.

Mengacu pada data Oil World Annual 2003, Jan Maarten Dros dari AIDenvironment dalam Accommodating Growth: Two Scenarios for Oil Palm Production Growth (2003) menyebutkan Indonesia dan Malaysia menguasai 84 % produksi minyak sawit di pasar dunia pada tahun 2002. Namun, keuntungan menggiurkan dari perdagangan minyak sawit tidak pernah lepas dari risiko ekologis yang menuntut harga yang sangat mahal. .

Program pengembangan perkebunan kelapa sawit menghadapkan pemerintah pada berbagai tekanan, yaitu perlawanan masyarakat sekitar kawasan hutan yang kehilangan sumber penghidupan, ancaman kerusakan ekologis, dan kelangsungan manfaat hutan untuk masa yang akan datang. Akan tetapi, mengapa kelapa sawit tetap diunggulkan sebagai komoditas andalan bagi Indonesia pada umun dan Kalbar khususnya.
Salah satu faktor yang mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kalbar adalah ketersediaan lahan yang sangat mudah, posisi tawar masyarakat lemah dang anti rugi sangat murah bagi mereka yang diberada di kawasan hutan, yang dipermudah dengan adanya kemungkinan untuk memanipulasi hukum dan peraturan mengenai tanah dan hutan.

Menurut data WALHI Kalbar telah tercatat sekitar 200-an kasus di perkebunan kelapa sawit menyangkut pengusuran lahan pertanian, tanam tumbuh, tempat keramat, ganti rugi yang tidak layak dan konflik antara yang menerima dengan tidak mau menerima perkebunan kelapa sawit (data base WALHI, 2007). Sengketa tanah yang memicu konflik beragam menyangkut penguasaan hutan di berbagai wilayah di Kalbar menegaskan kegagalan pemerintah dalam menyelaraskan pembangunan dengan struktur social, ekonomi masyarakat setempat, serta kaitan sejarah masyarakat bersangkutan dengan hutan. Pembangunan di sektor perkebunan khusus komoditi sawit pada dasarnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Alih fungsi lahan dan hutan untuk mendukung program pengembangan sektor ekonomi yang dapat membuka lapangan pekerjaan sekaligus menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar serta meningkat ekonom kerakyatan Namun program pengembangan perkebunan kelapa sawit tampaknya menjadi jawaban bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kenyataannya, peningkatan kesejahteraan tidak pernah terwujud dan keadaannya menjadi terbalik.

Investasi bernilai miliaran dolar itu justru membuat rakyat kehilangan tempat tinggal, ruang social serta kehilangan kemandirian dalam membangun kesejahteraannya sendiri. Namun, kebijakan yang salah arah ternyata tidak menghentikan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Angka statistik perluasan perkebunan kelapa sawit di Kalbar mencapai 3.508.281,79 hektar dengan jumlah 250 perusahaan (Data Disbun, 2006).

Dalam kasus sawit, pengembangan perkebunan kelapa sawit membuat masyarakat adat dan petani setempat terdesak di tanah mereka sendiri. Michael R. Dove dalam bagian pendahuluan untuk kumpulan hasil penelitian berjudul Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi (1985) mengungkapkan bahwa landasan utama bagi semua program pembangunan pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat yang dianggap 'tertinggal' dalam proses pembangunan adalah 'upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat'. Faktanya, kepentingan pembangunan itu, menurut Michael R. Dove, jarang dibuktikan dengan data empiris mengenai taraf hidup masyarakat bersangkutan dan bila dikumpulkan tentu saja tidak mendukung persepsi para perencana pembangunan tersebut.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit, terutama di Kalimantan Barat, telah menunjukkan arah perubahan yang jelas, yaitu perubahan ekologi akibat perubahan tata guna lahan hutan yang berujung pada tercerabutnya masyarakat dari hak asasi atas lingkungan hidup. Pemerintah tampaknya tidak memperhitungkan biaya mahal perubahan sosial yang harus ditanggung masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan. Usaha-usaha untuk membuat pengelolaan hutan yang berkelanjutan tidak dapat dilakukan hingga kebijakan pengelolaan hutan yang mempertahankan nilai ekologis hutan seutuhnya dirumuskan kembali. Pada pembukaan areal hutan untuk perkebunan kelapa sawit tanpa memperhitungkan risiko ekologi pada akhirnya menjadi beban masyarakat luas yang justru tidak ikut menikmati keuntungan dari hasil pengusahaan hutan . Pembangunan di sektor perkebunan kelapa sawit telah mengarah pada akumulasi kekayaan di satu sisi dan pemiskinan di sisi lainnya. Terutama bagi masyarakat yang berada di areal perkebunan maupun mereka yang memiliki kebun kelapa sawit.

Masa depan Kalbar tergantung pada pengelolaan sumber daya alam dan hutan berkelanjutan yang mempertimbangkan nilai “ekologis “hutan secara utuh. Pengelolaan sumber daya alam dan hutan semacam itu telah ada dalam sistem masyarakat setempat

Usaha pengelolaan SDA dan hutan yang berkelanjutan membutuhkan upaya pengakuan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan yang menjamin kekayaan hutan bermanfaat bagi masyarakat di sekitar hutan dan juga bagi negara. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah dan para pendukung pembaharuan kebijakan harus bekerjasama dengan masyarakat di sekitar lahan dan kawasan hutan dalam menggerakkan perekonomian setempat pada penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih memberikan banyak pilihan. Pilihan yang lebih baik bagi masyarakat akan berlaku efektif bila unsur-unsur pengelolaan tradisional ikut dimasukkan dalam penerapan kebijakan yang baru.

Menurut kami bahwa perkebunan skala besar tidak akan mungkin bisa mengantikan fungsi ekologi, oleh karena itu pemerintah pusat maupun daerah harus menghentikan perluasan perkebunan kelapa dan mengoptimalisaikan perkebunan kelapa sawit yang telah ada dengan melakukan monitoring dan evaluasi

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar