Sabtu, 15 Januari 2011

PENANGANAN BENCANA DAN RESPON TERHADAP KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Shaban Stiawan

Pada tanggal 17 Agustus 2006 masyarakat Kalimantan Barat yang bertepatan HUT kemerdekaan telah di kepung oleh kabut asap terutama masyarakat perkotaan Pontianak, kabut asap bagi masyarakat di Kalbar bukan barang baru, karena sudah dimulai sejak tahun 1997 sampai sekarang ini. Kejadian tersebut tersering dengan pergantian kepala daerah seperti Bupati, Walikota maupun Gubernur Kalbar. namun tidak ada satupun kepala daerah yang mampu menyelesaikan meminalisasi bencana kebakaran hutan dan lahan.

Apabila terjadi kebakaran hutan dan lahan yang nama Satelit National Oceanic Atmospheric and Administrasi selalu melaporkan hotspot-hotspot di Kalbar, selain itu juga pemerintah maupun instansi terkait dalam hal BAPEDDALDA juga menyampaikan laporan yang serupa mengenai jumlah hotspot. Dari laporan tersebut pemerintah menyampaikan bahwa sumber hotspot di tahun 1997 – 2006 berasal rata-rata di areal n perkebunan skala besar (sawit, HTI dan lahan pertanian rakyat (kliping walhi ,2006..www.walhi.or.id). Sedangkan temuan yang di lanser oleh NOAA bahwa hotspot yang paling besar juga terjadi di areal yang di peruntukan untuk pengembangan perkebunan skala besar.

Tahun 2006 berdasarkan pantau satelit NOAA ada 50 % hotspot berada di kawasan hutan sedangkan di luar kawasan hutan 44,2%. (redaksi@pontianakpost.com pontianakpost, 26/7/2006). Tidak kalah penting lagi Badan Meteorology dan Geofisika (BMG) Pontianak setiap hari maupun bulan melaporkan tingkat bahaya cuaca di Kalbar.

Hasil investigasi Walhi Kalbar pada tanggal 13 September 2006 telah terjadi kebakaran yang menghanguskan Bukit Kuali di Dusun Lais, Desa Lalang, Kecamatan Tayan Hilir, Kab. Sanggau yang bersumber dari PT. MSP yang bergerak di perkebunan kelapa sawit.(lap. investigasi,2006). Menurut kepala Badan pengendalian dampak lingkungan ada 9 perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran dengan total areal 2.773 – 3,173 hektar yang tersebar di seluruh Kalimanatan Barat (Pontianakpost, 19/10/2006)

Kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di Kabupaten Landak yang terbesar sepanjang sejarah perkebunan menghanguskan 60 hektar lahan perkebunan dan sebagian hutan adat masyarakat (22-26/9/2006) dengan sumber api berasal dari PT. ANI (Equator, 28/9/2006)

Damapak kebakaran hutan dan lahan menambah laju degradasi hutan dan lahan kritis mencapai 5,3 hektar (data dishut.2006). Hasil dari kebakaran hutan dan lahan telah menghasilkan kabut asap ternyata meluas sampai ke Negara Tetangga yakni Kuala Lumpur dan Singgapura. Menurut Departemen Lingkungan Malaysia bahwa kualitas udara sudah tidak sehat lagi dan pemerintah Malaysia langsung mengeluarkan kebijakan menghentikan beberapa penerbangan ke Kuching dan Sabah. Kemudian pemerintah Malaysia melakukan protes terhadap pemerintah Indonesia untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan (data,5/10/2007). Langakah kongkret yang dilakukan oleh Malaysia menuruj langsung untuk memantau kebakaran hutan dan lahan di kalbar yang diketuai oleh Zulkarnain Muhammad Kasim seorang personil pasukan Bomba Malaysia (sub-regional fire fighting arrangement) menuju lokasi kebakaran hutan di Kecamatan Rasau, Kabupaten Pontianak.

Bencana yang tidak pernah usai beberapa lembaga swadaya masyarakat dalam hal ini KAIL, Gemawan dan Kontak bernoe melakukan monitoring terhadap perluasan perkebunan kelapa sawit salah satu kontribusi melakukan pembakaran hutan dan lahan karena kebakaran hutan dan lahan dapat menyebabkan ancaman eksistensi hutan di Kalbar.(data, 2007). Akibat dari kebakaran yang bersumber dari salah satu perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sambas telah merambah perkebunan karet rakyat seluas 600 hektar di Kecamatan Paloh pada hari minggu tanggal 13 Agustus 2006 (Pontianakpost, 15/8/2006).

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2003 – 2005 telah menimbulkan kerugian Negara sebesar 91 juta dolar AS atau sekitar Rp. 819 triliun. Kebakaran tersebut tersebaran sebagian di Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan di Kalbar kerugian yang dialami oleh pemerintah setiap tahun sekitar satu miliar lebih.


Penanganan Bencana dan Respon Pemerintah

Menurut montoring dan data yang kami peroleh dar berbagai sumber baik melalui media cetak maupun eletronik proses penanganan lebih pada responsif dan tidak satupun kebijakan yang menyentuh persoalan rakyat. Penanganan tersebut terkesan lebih dampa dari bencana kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu dapat kita lihat dari kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah pusat maupun.

 Pemerintah pusat mengeluarkan instruksi kepada Menteri Kehutanan, Gubernur, Bupati/Walikota untuk melakukan tanggap darurat terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan di masing-masing daerah dalam upaya menimalisasi ”meluasnya kabut asap” untuk tidak meluas keluar negeri seperti Malaysia, Singapura maupun Thailand (kompas, 21/7/2006)

 Pemerintan dalam menangani bencana kebakaran hutan dan lahan bersifat responsive dengan pendekatan proyek. Hal ini dapat kita lihat dari kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dengan mengalokasikan 1 milyar dana tersebut digunakan untuk program-program pengendalian dan pencegahan kabut asap seperti bom water dan penambahan sarana pemadaman kebakaran hutan dan lahan (pontianakpost, 17/8/2006).

 Gubernur memberi himbauan kepada sekolah-sekolah untuk meliburkan sekolah karena kabut asap sudah melebih ambang batas. Kemudian bupati Kabupaten Pontianak juga menyampaikan hal yang sama dengan menjagak masyarakat diminta jangan membakar lahan ( pontianakpost,7/8/2006).

 Menurut ketua DPRD Kalbar Ir, Zulfadhli banyak hostpot yang muncul menunjukan adanya indikasi kegagalan instansi terkait dalam melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat. (pontianakpost,10/8/2006).

 Upaya penegakan hukum juga dilakukan oleh aparat kepolisian dengan menindak tegas terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan. Misalnya warga jalan Ampera Pontianak yang berinisial SI (44) tahun digiring ke Mapoltabes Pontianak karena tertangkap tanggan membakar lahan di jalan Paris II Pontianak (Pontianakpost.16/8/2006).

 Di Kabupaten Sambas ada 80 kelapa keluarga di ungsikan oleh pemerintah daerah untuk menyelamatankan diri dari kepungan asap yang sudah mendekati kediaman mereka (14/8/20060)

 Munculnya kabut asap juga disikapi oleh Gubernur Kalbar Bapak Usman Ja,far sebagai penomena alam biasa, oleh karena itu gubernur menghimbau masyarakat untuk mengunakan masker atau mengurangi kegiatan diluar serta menghimbau kepada bupati/walikota membuat himbauan pelarangan membakar ditempat-tempat yang berpotensi menimbulkan kebakaran.

 Upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDALDA) membentuk masyarakat peduli api dengan program penyadaran melalui edukasi dan kampanye yang dilakukan oleh Duta Lingkungan Hidup Kalbar. (pontianakpost, 4/9/2007)

 Perusahaan yang secara jelas melakukan pembakaran dan pembuktian ilmiah pengadilan Singkawang membebaskan PT. Wilmar Sambas Plantation, PT. Buluh Cawang Plantation tersangka melakukan pembakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sambas yang secara melanggar pasal 41 ayat (1) Jo pasal 46 (1) jo pasal 47 UU RI Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (Equator, 20/8/2007)


Penanganan Bencana dan Respon Masyarakat

Kebakaran hutan dan lahan sangat berdampak besar terhadap masyarakat secara umum namun yang paling rentan adalah perempuan maupun anak-anak. Berdasarkan pantau Walhi kalbar di setiap rumah sakit swasta maupun negeri pada saat musim kebakaran hutan dan lahan hampir rata-rata pasien terkena ISPA maupun diare. Apa yang dilakukan oleh masyarakat untuk menangani bencana dampak kebakaran hutan dan lahan. Adapun upaya yang mereka lakukan lebih pada melindungi diri sendiri atau meminta pertolongan dengan pihak lain seperti pemerintah maupun yayasan-yayasan. Kegiatan yang mereka lakukan dengan membeli masker, obat-obatan dan mendatangi rumah sakit terdekat maupun puskesmas. Selain itu ada kelompok-kelompok civil society seperti walhi, mahasiswa maupun lsm lainnya melakukan aksi bersama di jalan-jalan, konferensi pers, dialog kebijakan, audiensi, pembagian masker, poster dan obat-obat pada saat bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahap genting dan kritis di Kalimantan Barat.

Bagi masyarakat pedalaman terutama bagi mereka yang berladang gilir balik dengan lahan kering, seperti yang diduga selalu dilakukan perusahaan yang membuka lahan dengan cara bakar. Pada saat ini, jumlah pembakaran lahan ladang di pedalaman sudah jauh berkurang dibandingkan 20-50 tahun lalu, karena faktor berkurangnya tingkat kesuburan lahan (karena berilalang) atau telah dialihkan untuk ditanami karet. Semakin banyak lahan bawas/bekas ladang ditanami karet, semakin berkurang lahan yang akan dibakar untuk ladang. Mengapa pola pengalihan ini tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk semakin mengurangi pembakaran lahan? Kalau perlu, menanam karet di lahan ladang menjadi persyaratan setiap kelompok tani yang mengajukan permohonan pembuatan kebun karet atau hutan tanaman karet. Penulis, bersama Dewan Adat Dayak Kabupaten Sanggau, pernah membina 1000 petani karet yang sebagian besar menanami lahan yang sedang diladangi dengan bibit karet unggul dalam rangka pembuatan hutan rakyat, dan berhasil baik. (DPD RI, Piet Herman Abik)

Lahan ladang di pedalaman, terutama pada bekas ladang rimba, dapat dikelola menjadi ladang tanpa pembakaran. Lahan ladang ini merupakan bekas ladang rimba, yang pada perladangan pertama menggunakan pola bakar. Berikutnya, lahan tersebut yang selalu digunakan untuk ladang setiap tahunnya, dengan cara menebas semak dan dibersihkan sampai ke permukaan tanah, yang kemudian ditanami padi, tanpa melalui pembakaran. Tingkat kesuburan cukup tinggi, dan dapat dibantu dengan pupuk. Penulis menyaksikan perladangan pola ini di tepian Sungai Mendalam Kapuas Hulu pada tahun 1996.

Pola ini dapat dipelajari dan disosialisasikan kepada masyarakat, yang dengan pembinaan dari Penyuluh Pertanian, diyakini dapat mengurangi pembuatan ladang dengan pembakaran.

ada umumnya, masyarakat pesisir membuat huma/sawah tadah hujan setiap tahunnya di lahan yang sama dengan cara membakar rerumputan/semak yang telah kering setelah ditebas. Lahan ini ada yang dicangkul atau dibajak. Namun, tidak sedikit yang mengupas tanah lahan sawah tersebut untuk kemudian ditanami padi.

Mengikuti pola perladangan tanpa bakar, tentu pola sawah tadah hujan inipun dapat menggunakan cara yang sama, walaupun tidak seefektif sawah dengan pola pengairan, yang dengan mudah menjadikan tanah sawah menjadi lumpur untuk kemudian rerumputan/bekas batang padi dibenamkan ke dalamnya.

1 komentar: