Sabtu, 15 Januari 2011

Peningkatan Peran Masyarakat Madani (Civil Society) Dalam Mengatasi Polusi Asap Lintas Batas Dalam Kerangka Asean

Penumpukan asap yang sering terjadi sejak akhir tahun 1990-an di Kalimantan telah menimbulkan banyak masalah, di samping polemik yang tidak berkeputusan. Dampak buruknya bagi kesehatan serta gangguan yang ditimbulkan terhadap transportasi dan lingkungan telah menimbulkan protes sampai ke negara tetangga. Termasuk kerusakan hutan dan lahan yang diakibatkan oleh sumber asap itu sendiri, yaitu kebakaran, telah menyebabkan banyak orang bersuara, baik mengulas, memprotes, maupun membela pelakunya. Tetapi, jarang yang memberikan solusi yang ampuh. Tulisan ini mencoba memberikan beberapa ide mengatasi bencana asap dan pembakaran lahan, menurut kaca mata awam.

Asap akibat kebakaran yang dilakukan oleh manusia, baik sengaja maupun karena kelalaian/kelengahan sangat sulit dicegah, mengingat yang melaksanakan pembakaran sebagian besar adalah anggota masyarakat yang mencari penghasilan untuk hidup, di samping pembakaran sampah pekarangan. Sebagian mereka adalah petani perladangan tradisional di pedalaman yang pada umumnya berlokasi di wilayah ketinggian, tetapi bukan di areal tanah bergambut. Sebagian lagi adalah petani di daerah pesisir yang, tanpa penebangan pohon besar, melakukan pembakaran, termasuk di areal tanah bergambut. Sedangkan sebagian lainnya, adalah mereka yang disuruh/diupah/dibayar untuk melakukan pembakaran sebagai upaya persiapan lahan untuk penanaman tanaman lain (termasuk perkebunan besar). Dilema ini menyebabkan aparat pemerintahan kesulitan untuk mencegah, menindak, dan mengurangi aktivitas pembakaran yang menimbulkan penumpukan asap dan pada waktunya menjadi bencana asap.

Kebakaran/pembakaran, yang menurut skalanya, berpotensi menimbulkan penumpukan asap sehingga menjadi bencana, tentu harus dicegah, dan kalau sudah terjadi harus ditindak dengan tegas. Sanggupkah pemerintah bertindak tegas? Berdasarkan fakta sejak mulainya penumpukan asap menjadi bencana pada tahun 1997, dan sekarang penumpukan asap tetap menjadi bencana, penulis meragukan kemampuan pemerintah untuk bertindak tegas dan tuntas! Tindakan tegas dilakukan terhadap perusahaan yang melakukan pembakaran dengan cara memperalat anggota masyarakat. Tindakan tegas juga dilakukan terhadap petani tradisional, yang terbukti melakukan pembakaran hutan/lahan di luar areal peruntukannya, termasuk kelalaian yang menyebabkan terbakarnya hutan/lahan di sekitar lahan usahanya.

Peran Lembaga Adat.
Masyarakat adat memiliki adat istiadat dan hukum adat yang harus diterapkan terhadap pelanggaran pembakaran di wilayah masyarakat adat yang bersangkutan. Hal ini diatur secara tidak tertulis, dan diketahui oleh setiap temenggung adat, termasuk pengurus lembaga adat. Umpamanya, seorang petani membakar lahan yang telah disiapkan untuk ladang, pada keluasan tertentu dan disertai lingkar pengaman kebakaran, serta dijaga oleh sekelompok orang, agar api tidak merambat ke luar areal lahan pembakaran. Apabila, karena kelalaian, terjadi kebakaran yang tidak dikehendaki, akibat merambatnya api yang membakar lahan lain, bawas atau kebun karet milik orang lain, maka pemilik lahan pembakaran akan dihukum adat dan dikenai denda yang tinggi.

Masalah yang muncul adalah jika pelaku pembakaran ingkar dan tidak mau membayar adat/denda yang dikenakan padanya. Di sinilah peran lembaga-lembaga adat untuk membinanya. Jika tidak, pemilik lahan yang menjadi korban kebakaran dapat membawa kasus ini ke polisi, untuk diproses di pengadilan. Dalam hal ini, antara hukum adat dengan hukum pidana/hukum perdata tidaklah saling meniadakan, walaupun mungkin dapat saling mempertimbangkan. Tetapi, bila lembaga adat tidak mampu mengatasi masalah ini, kewibawaan lembaga adat yang bersangkutan akan turun di mata masyarakat, karena tidak mampu mengatasi masalah di wilayahnya sendiri. Termasuk pemerintah daerah dapat mempertanyakan peran lembaga adat tersebut, karena setahu penulis, lembaga adat mendapat dana operasional dari pemerintah berdasarkan Permendagri No. 3 Tahun 1997 Pasal 10, yang mewajibkan Gubernur, Bupati/Walikota untuk menganggarkan dana setiap tahun anggaran melalui APBD. Petunjuk pelaksanaan Penegasan Permendagri ini dituangkan dalam Instruksi Mendagri No. 15 tahun 1998.

Peran Pengurus RT/RW/Kepala Dusun/Kepala Desa/Lurah
Bagi masyarakat yang tidak mengenal dan kepada mereka tidak berlaku hukum adat, pelanggaran kebakaran/pembakaran dapat ditangani oleh Ketua RT/RW, Kepala Dusun, Kepala Desa, dan Lurah melalui koordinasi yang tegas dengan Camat, Bupati/Walikota. Untuk setiap kasusnya, apabila tidak dapat diselesaikan di tingkat masing-masing, dapat dibawa ke pengadilan melalui prosedur hukum yang berlaku.

Mengurangi Pembakaran Lahan
Seingat penulis, asap mulai menjadi masalah di Kalimantan Barat pada tahun 1990 ke atas. Dan ini, selalu menjadi masalah pada tahun-tahun sesudahnya, sampai sekarang pada saat volume perladangan tradisional semakin kecil, dan perusahaan perkebunan semakin banyak, yang juga membuka lahan dengan cara membakar lahan yang puluhan kali lebih luas dari luas sebuah ladang. Peladang tradisional membakar lahan untuk ladang setelah material yang akan dibakar kering, dan hanya seluas kurang lebih satu hektar, dan biasanya pada masa kering di bulan Agustus, untuk kemudian ditanami padi pada bulan September (Dari mana asap yang menyelimuti Pontianak awal Oktober 2006 ini??). Pada bulan Oktober, petani sudah menikmati sayuran (sawi ladang). Sangat jarang terjadi peladang membakar lahan mentah (kayu-kayuan belum kering).

Berbeda dengan pembakaran lahan bergambut atau lahan yang materialnya kurang kering, seperti yang diduga selalu dilakukan perusahaan yang membuka lahan dengan cara bakar. Pada saat ini, jumlah pembakaran lahan ladang di pedalaman sudah jauh berkurang dibandingkan 20-50 tahun lalu, karena faktor berkurangnya tingkat kesuburan lahan (karena berilalang) atau telah dialihkan untuk ditanami karet. Semakin banyak lahan bawas/bekas ladang ditanami karet, semakin berkurang lahan yang akan dibakar untuk ladang. Mengapa pola pengalihan ini tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk semakin mengurangi pembakaran lahan? Kalau perlu, menanam karet unggul di lahan ladang menjadi persyaratan setiap kelompok tani yang mengajukan permohonan pembuatan kebun karet atau hutan tanaman karet. Penulis, bersama Dewan Adat Dayak Kabupaten Sanggau, pernah membina 1000 petani karet yang sebagian besar menanami lahan yang sedang diladangi dengan bibit karet unggul dalam rangka pembuatan hutan rakyat, dan berhasil baik.

Berladang Pola Tebas
Lahan ladang di pedalaman, terutama pada bekas ladang rimba, dapat dikelola menjadi ladang tanpa pembakaran. Lahan ladang ini merupakan bekas ladang rimba, yang pada perladangan pertama menggunakan pola bakar. Berikutnya, lahan tersebut yang selalu digunakan untuk ladang setiap tahunnya, dengan cara menebas semak dan dibersihkan sampai ke permukaan tanah, yang kemudian ditanami padi, tanpa melalui pembakaran. Tingkat kesuburan cukup tinggi, dan dapat dibantu dengan pupuk. Penulis menyaksikan perladangan pola ini di tepian Sungai Mendalam Kapuas Hulu pada tahun 1996.

Pola ini dapat dipelajari dan disosialisasikan kepada masyarakat, yang dengan pembinaan dari Penyuluh Pertanian, diyakini dapat mengurangi pembuatan ladang dengan pembakaran.



Pembuatan Sawah Tadah Hujan
Pada umumnya, masyarakat pesisir membuat huma/sawah tadah hujan setiap tahunnya di lahan yang sama dengan cara membakar rerumputan/semak yang telah kering setelah ditebas. Lahan ini ada yang dicangkul atau dibajak. Namun, tidak sedikit yang mengupas tanah lahan sawah tersebut untuk kemudian ditanami padi.

Mengikuti pola perladangan tanpa bakar, tentu pola sawah tadah hujan inipun dapat menggunakan cara yang sama, walaupun tidak seefektif sawah dengan pola pengairan, yang dengan mudah menjadikan tanah sawah menjadi lumpur untuk kemudian rerumputan/bekas batang padi dibenamkan ke dalamnya.

Tindakan Terhadap Perusahaan Pembakar Lahan
Kalau petugas penyidikan mendatangi lahan sebuah perusahaan yang telah melakukan pembakaran, dilihat sendiri dengan mata kepala sang petugas, mengapa harus dibuktikan lagi dengan mengirim sampel ke laboratorium kebakaran?

Perusahaan pembakar lahan akan membela diri dengan mengatakan: “Kenapa hanya kami yang ditindak? Bagaimana dengan peladang berpindah yang setiap tahun membakar lahan untuk ladangnya? Bagaimana dengan petani di sekitar kota Pontianak yang membakar lahan sehingga terjadi kebakaran di sekitar Bandara Supadio? Kenapa tidak ditindak?”

Seorang teman menjawab: “Asap peladang tradisional di pedalaman yang membakar lahan untuk ladang, sejak ratusan tahun lalu tidak menyebabkan penumpukan asap sehingga menimbulkan bencana. Kecuali, terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sehingga gambut ikut terbakar, pasti asapnya akan menumpuk menyebabkan bencana. Asap kebakaran tanah gambut berbeda baunya dengan asap pembakaran kayu dan daun kering. Yang harus ditindak adalah pembakar lahan skala besar yang menyebabkan bencana asap, ketimbang peladang tradisional (termasuk petani sawah) yang selalu menjadi kambing hitam. Namun setuju bila pembakar lahan, siapapun dia, karena kelalaiannya menyebabkan kebakaran hutan yang luas di luar lahan yang ditetapkan, untuk ditindak dan dihukum, baik lewat hukum adat, maupun hukum pidana/perdata, sesuai dengan prosedurnya.”

Pada bagian awal tulisan ini, penulis mendahulukan ide-ide untuk mengatasi masalah pembakaran lahan yang sering dituduhkan kepada peladang tradisional, sebagai penyebab bencana asap. Mengakhiri tulisan ini, penulis mempertanyakan, mengapa pemerintah kurang tegas menindak perusahaan yang jelas-jelas secara fakta membakar lahan dalam skala besar, termasuk memperalat anggota masyarakat untuk melakukannya dengan bayaran uang. Apakah karena perusahaan tersebut akan memberikan pendapatan pemasukan ke kas daerah, sehingga ada kecenderungan untuk membiarkan pembakaran lahannya?

Kelihatannya, pemerintah daerah barulah mulai bertindak tegas setelah pemerintah pusat “marah” karena negara tetangga juga “marah”!

sumber : Piet Herman Abik (Penulis adalah Anggota DPD RI 2004 - 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar